REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin, menyatakan, jam kerja sebaiknya diukur
berdasarkan kemampuan para pekerja di sebuah perusahaan. Ia melihat adanya
kecenderungan aktivis perempuan reaktif terhadap wacana pengurangan jam kerja
perempuan.
KH Ma'ruf Amin mengatakan perlu diadakan dialog agar tidak
menimbulkan polemik jika wacana itu diwujudkan ke dalam sebuah aturan. “Kalau
dari segi kemampuan, memang berbeda (antara perempuan dan laki-laki). Tapi
kalangan pendukung kesetaraan gender, cenderung tidak mau (implementasi wacana
tersebut). Maka perlu dialog,” kata KH Ma'ruf Amin saat dihubungi Republika
Online (ROL), Kamis (25/12).
Ma'ruf Amin menekankan, pentingnya bagi tiap perempuan
pekerja untuk membagi waktu terhadap keluarga di rumah. Utamanya, kehadiran
istri bagi suami serta ibu bagi anak-anak tidak boleh diabaikan porsi waktunya.
Dengan begitu, lanjutnya, manfaat pengurangan jam kerja
perempuan diharapkan berfokus pada keseharian keluarga perempuan yang
bersangkutan. Sehingga bukan berarti membanding-bandingkan antara dua pihak.
Laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi lain.
Jam Kerja Dikurangi, Komnas Perempuan: Ini Memberi Beban
Ganda
PerempuanREPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wacana pengurangan jam kerja perempuan
yang sepekan ini santer terdengar, ternyata dinilai sebagai sebuah diskriminasi
serta memberi beban baru bagi kaum Hawa.
“Ada gagal konsep dari wacana pengurangan jam kerja bagi
perempuan ini. Jika alasan pengurangan jam kerja bagi perempuan karena masalah
pengasuhan dan konsepsi ideal seorang ibu, hal ini dianggap sebagai beban ganda
perempuan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dalam rilisnya,
Ahad (7/12).
Pengurangan jam kerja perempuan, ujarnya, sama saja
merumahkan perempuan atau lebih tepatnya merupakan bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.Selama ini, stigma terhadap perempuan berkarier adalah perempuan yang
tak bisa mengurus rumah tangga. Padahal, imbuh Andy, perempuan berkarier adalah
hak, dan terkadang merupakan tuntutan hidup.
Kondisi inilah yang ia maksud terjadi beban ganda yang harus
disandang perempuan. Satu sisi sebagai pencari nafkah, di sisi lain sebagai ibu
rumah tangga.
“Semestinya bukan jam kerja yang dikurangi. Tetapi perbaikan
infrastruktur negara yang mampu mendukung perempuan dalam menjalankan
perannya,” jelas Andy.
Misalnya, memperbaiki infrastruktur transportasi agar
perempuan bisa mengakses transportasi yang aman dan cepat agar waktu tak habis
di jalan.
"Komnas Perempuan mengingatkan bahwa niat baik saja
tidak menjamin kebijakan yang dihasilkan tidak memiliki muatan yang
diskriminatif," ujar Andy.
Komnas Perempuan menilai kebijakan ini akan meminggirkan
perempuan di dunia kerja sebab ia akan dipandang sebagai tenaga kerja yang
tidak kompetitif dan tidak produktif. Artinya, realisasi usulan ini merupakan
langkah mundur dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
JK: Pengurangan Jam Kerja Wanita Baru Wacana
REPUBLIKA.CO.ID, SRAGEN -- Wakil Presiden (wapres) Jusuf
Kalla menjelaskan pengurangan jam kerja wanita baru bersifat wacana.
"Itu baru wacana," kata Wapres Jusuf Kalla saat
melakukan kunjungan kerja ke Sragen, Jawa Tengah, Jumat (5/12).
Dia menjelaskan, banyak masyarakat yang kurang paham bahwa
wacana pengurangan jam kerja bagi wanita tersebut hanya ditujukan bagi ibu yang
memiliki anak kecil. "Hanya ditujukan bagi ibu yang memiliki anak kecil,
tidak semuanya," katanya.
Menurut pria yang akrab disapa JK tersebut, wacana itu
bertujuan untuk menjaga masa depan bangsa. Karena dengan memiliki waktu lebih
banyak untuk anaknya, maka orang tua bisa lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak
sekaligus mendidiknya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai jam kerja
pegawai perempuan harus dikurangi selama dua jam. Pengurangan ini diperlukan
agar perempuan bisa memiliki waktu lebih untuk keluarga dan mendidik anak. Hal
ini disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuannya dengan Persatuan
Umat Islam di Jakarta.
Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) mendukung usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait pemotongan
jam kerja pekerja perempuan. "BKKBN mendukung, karena itu sangat baik dan
proanak-anak," kata PLT Kepala BKKBN Fasli Jalal.
Menurut dia, pemotongan waktu sekitar dua jam memiliki
dampak yang sangat besar. "Berarti anak memiliki waktu lebih lama untuk
berinteraksi dengan ibu mereka, dan itu sangat baik bagi tumbuh kembang
anak," katanya. Keberadaan orang tua, kata Fasli sangat penting dalam
mempengaruhi kualitas anak-anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-– Wacana pengurangan jam kerja untuk perempuan yang dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, ternyata mendapat tanggapan yang beragam dari para karyawan perempuan. Banyak yang setuju,tapitak sedikit pula yang menolak wacana tersebut.
Seperti Ardila Sani, buruh pabrik sepatu asal Lampung
tersebut tak setuju dengan wacana tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut
justru akan menimbulkan kerugian pada perempuan sendiri. “Memang ada sisi
positif dan negatifnya, tapi saya lebih tidak setuju,” katanya.
Ia mengatakan, bahwa perusahaan tentunya tidak akan mau
rugi. Jika jam kerja perempuan dikurangi, namun tetap membayar gaji yang sama
dengan laki-laki, perusahaan pasti lebih memilih merekrut pekerja laki-laki,
dan akan berpikir ulang untuk menerima pekerja perempuan.
“Secara perusahaan mana mau rugi. Kalo jam kerja cewek
dikurangn tapi gaji masih sama kaya cowok lama-lama perussahaan tidak mau lagi
nerima cewek dong,” kata wanita berumur 22 tahun tersebut.
Karena menurut Dila,sapaan akrabnya, perusahaan tentunya
punya target produksi. Target produksi itulah yang terkadang membuat karyawan
bekerja lembur. Jadi, jika jam kerja dikurangin akan sangat berpengaruh pada
target produksi.
Berbeda dengan Dila, Hilda Arnaz yang bekerja di salah satu
bank swasta, mengaku setuju dengan wacana pengurangan jam kerja untuk wanita
tersebut. Menurutnya itu sangat baik, apalagi bagi perempuan yang sudah
berkeluarga.
“Perempuan kan masih harus ngurus keluarga dirumah, apalagi
kalau udah punya anak. Sebisa mungkin sebelum suami pulang, istri harus sudah
ada di rumah duluan,” kata Wanita asal Sumatera Barat tersebut.
Kasatpol PP Jakarta Tolak Usulan Wapres JK
REPUBLIKA.CO.ID, GAMBIR - Usulan yang dilakukan oleh Wakil
Presiden Jusuf Kalla (JK) mengurangi jam kerja pegawai perempuan selama dua jam
menuai pro dan kontra. Di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
contohnya, tidak semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan setuju dengan
usulan tersebut.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Koja, Siti
Mulyati, ia mengaku secara profesional kurang setuju dengan pengurangan jam
kerja. Karena, kata dia, akan ada pembedaan perlakuan kepada kaum perempuan.
"Seharusnya tidak usah ada perlakuan istimewa, laki-laki dan perempuan
mempunyai hak yang sama," ujar Siti kepada Republika, Jumat (5/12).
Menurut perempuan berusia 53 tahun itu, pemotongan jam kerja
justru akan menimbulkan kecemburuan sosial. "Nanti para pegawai laki-laki
banyak yang tidak terima," ucapnya. Namun, lanjut ibu dua orang anak itu,
ia juga tidak menampik usulan wapres itu memberikan keuntungan bagi kaum hawa.
Karena, dengan usulan tersebut para ibu dapat mengurus keluarganya terlebih
dahulu sebelum bekerja.
Kepala Unit Pengelola (UP) Kawasan Monumen Nasional (Monas),
Rini Hariyani mengaku setuju dengan pengurangan jam kerja selama dua jam bagi
PNS wanita. Namun, kata dia, kebijakan itu harus dilihat dari usia anak-anak
para PNS wanita yang bekerja. Apakah, anak PNS wanita itu masih memerlukan
pengawasan atau tidak. "Ya, boleh itu diberlakukan, tapi memang
betul-betul yang punya anak-anak dalam usia masa perkembangan. Contohnya,
karyawan (PNS) wanita yang masih punya SD, SMP atau SMA," kata ibu dua
orang anak itu.
Rini mengatakan, kalau PNS wanita yang anaknya sudah kuliah,
sah-sah saja tidak dipotong jam kerjanya. Pasalnya, selain tidak ada kegiatan
di rumah karena anak sibuk kuliah, para PNS wanita itu harus mengabdikan
tenaganya di kantor. "Jadi jangan dipukul rata, bukan karena saya punya
anak SMA. Tapi, yang perlu pendampingan seorang ibu adalah anak yang masih
duduk di bangku SD dan SMP," paparnya.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/12/05/ng3ndv-kasatpol-pp-jakarta-tolak-usulan-wapres-jk
TEORI DAVID MCCLELAND
Referensi:
Schultz dan Schultz. 2005. Theories of Personality
TEORI DAVID MCCLELAND
I.
McClelland
Teori
kebutuhan McClelland dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya.
Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan
yaitu kebutuhan prestasi (need for achievement), kebutuhan kekuasaan
(need for power), dan kebutuhan hubungan (need for affiliation)
David
Mc.Clelland mendalami Needs Theory dari Henry Murray. Ia meneliti 3 motif
utamayaitu prestasi, kekuasaan dan afiliasi untuk meninjau dan mengevaluasi
tentang bagaimana sistem motif ini mempengaruhi perilaku.
Seperti yang kita ketahui David McClelland dan
rekan-rekanyya terkenal dengan teori mereka yang berorientasi dengan kebutuhan. Masing-masing
indivivu memiliki kebutuhan yang berbeda terhadap dirinya sesuai dengan karakter
dan pola pikir individunya. Individu yang need of powernya tinggi cocok jika
ditempatkan di posisi sebagai pemimpin utama, yang mengatur banyak orang, dan
mengatur segala keperluan organisasi, indidvidu yang kebutuhan afiliasi/
berhubungan dengan orang lainnya tinggi lebih cocok ditempatkan di suasana
kerja yang terdapat banyak individu lain, yang membutuhkan tim kerja,
kesepakatan bersama dan terjalin banyak interaksi antar individu , cocok
ditempatkan sebagai marketer, spg, dealer, dan sejenisnya. Sedangkan orang yang
kebutuhan berprestasi sangat tinggi biasanya cocok menjadi orang yang
kompetitif, pembentuk ide baru, solusi tepat, inovasi serta yang berkaitan
dengan kemampuan diri.
Need
for Achievement
1. Keinginan yang kuat untuk bertanggung
jawab secara pribadi.
2. Kecenderungan memilih tingkat kesulitan
sedang dalam membuat target dan mengambil resiko.
3. Keinginan yang kuat untuk mengkonkritkan
umpan balik.
4. Menyukai kegiatan menyelesaikan tugas
semaksimal mungkin.
Need for Power
1. Menyukai kegiatan mengarahkan dan
mengendalikan orang.
2. Memperhatikan hbubungan antara pemimpin
dan pengikut.
3. Menikmati berkompetisi.
Need
for Affiliation
1. Ingin disukai oleh banyak orang.
2. Lebih suka bekerjaasama.
3. Berupaya untuk menjalin hubungan dengan
semua orang
4. Mencari peluang untuk berkomunikasi.
Pembahasan Teori McClelland Berkaitan dengan Artikel
Sama halnya dengan yang sudah dijelaskan bahwa setiap
individu memiliki porsi need yang berbeda sesuai dengan pola pikirnya. Ada need
of affiliation, need of achievement, need of power. Berkaitan dengan fenomena
yang digambarkan diatas , dimana ada banyak wanita yang menerima usulan wakil
presiden mengenai pengurangan jam kerja bagi pegawai wanita, namun tak kalah
juga banyak wanita yang menolak pengurangan jam kerja ini. Bisa dikatakan
orientasi individu terhadap kebutuhan pribadinya sangatlah berbeda satu dan
lain.
Seperti yang diungkapkan ketua majelis ulama Indonesia
dimana atas sikap reaktif wanita terhadap pengurangan jam kerjaa, dimana wanita
mengatakan bahwa ini merupakan diskriminasi, namun majelis lama menolak , ia
mengatakan bahwa ini bukan diskriminasi melainkan pentingnya wanita memikirkan
keluarga bukan lah perbedaan gender.
Komisioner Komnas perempuan juga mengatakan penolakan
terhadap pengurangan jam kerja ini, ia mengatakan bahwa ini menunjukkan
pembentukan peran ganda bagi wanita. Ia mengatakan bahwa bukan jam mkerja yang harus
dikurangi , infrasruktur , transportasi bagi wanita yang harus diperbaiki agar
wannita dapat menjalani perannya sebagai pencari nafkah dan ibu rumah tangga
dengan baik. Ini akan menimbulkan pemikiran bahwa pekerja wanita itu tidak
produktif dan kompetitif hal ini akan memperjelas diskriminasi dalam dunia
kerja.
Ada wanita yang jelas menolak karena pengurangan jam kerja
ini akan merugikan perusahaan dan individu bersangkutan, deimana dengan jam
kerja yang berbeda perusahaan harus membayar dengan gaji yang sama dengan
pekerja yang full time. Ini akan membuat perusahaan akan lebih memilih pria
sebagai pegawai perusahaannya. Namun ada wanita lain yang mengatakan bahwa pengurangan
jamkerja ini akan berdampak positif, karena peran wanita sebagi rumah tangga
akan semakin baik. Sama halnya dengan
kepala Satpol PP Koja yang menolak
pengurangan jam kerja ini, ia mengatakan bahwa dengan adanya pengurangan jam
kerja ini akan menimbulkan kecemburuan bagi kaum lelaki, menimbulkan juga sikap
egois bagi wanita dimana ia mememntingkan kepentingan keluarga dan mengabaikan
/ lalai mengerjakan tugas kantornya.
Dilemma ini menggambarkan perbedaan kebutuhan di masing-masing
individu dapat dilihat ada wanita yang menolak pengurangan jam kerja ini
menggambarkan kebutuhan dia akan prestasi sangat tinggi, dimana ia merasa
dengan bekerja ia bisa memenuhi kebutuhan pribadi, member uang tambahan atau
sekedar mengembangkan karirnya. Ia menolak pengurangan jam kerja karena
beranggapan kesempatan dia dalam memnunjukkan prestasinya akan berkurang,
disaingi dengan pegawa lelaki yang memiliki kesempatan lebih besar. Ketika ada
pegawai wanita yang melamar perusahaan akan berfikir dua kali utnuk memilih
wanita sebagai pegawai, ini sangat jelas menggambarkan kebutuhan berprestasi
yang dijadikan orientasi utama bagi wanita ini. Jadi kadang kala wanita yang
mempunyai keinginan maksimal dalam menyelasaikan tugasnya, bertanggung jawab
secara pribadi akan terhalang karena kuranganya posisi yang diberikan
lingkungan kerja. Kreativitas masing-masing wanita tidak akan berkembang.
Kebutuhan akan kekuatan (need of power) juga tergambar
disini, ketika ada yang mengatakan kesempatan yang akan diberikan akan berbed
antar wanita dan lelaki akan berbeda, menunjukkan diskriminasi langsung bagi
wanita. Berkurangnya kesempatan untuk dipilih sebagai pemimpin, mengemban
tanggung jawab lebih besar. Diskriminasi yang awalnya ingin dihapuskan malah
mencuat kembali, akan banyak wanita yang di nomor duakan dalam dunia kerja. Kebutuhan
akan kekuatan yang mendorong hal ini menjadi konflik. Para wanita yang inigin
mengembangkan dirinya, menmpati posisi tertinggi dalam dunia kerja, mengatur
orang lain, meninginkan kompetisi, semua akan terhalang.
Namun ada wanita yang kebutuhan afiliasinya tinggi, sehingga
ia menerima ususlan ini. Ia mementingkan hubungan dia dengan keluarga, peran
sebagai istri dan ibu di keluarga. Ia akan cenderung mendukung kebijakan ini. Namun
bagaimana dengan wanita yang kebutuhan afiliasi terhadap dunia kerjanya
tinggi?? Keinginan ia bekerja dan berinteraksi dengan orang banyak, keinginan
membuat visi dan strategi bersama, keinginan disukai orang banyka, keinginan
berkomunikasi dengan semua pegawai dan atasan. Hal ini mungkin akan menimbulkan
dilema bagi banyak wanita. Namun masing-masing individu pastinya sudah
menemukan strategi sendiri dalam memnuhi kebutuhannya, menyeimbangkan perannya
sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga.
Referensi:
Schultz dan Schultz. 2005. Theories of Personality